Hari Teater seDunia 2017

Mencipta Ruang Kreatif di Kota
Oleh: Widyo Babahe Leksono

Kehidup dikota besar semacam Jakarta, hidup terasa sesak. Pada jam-jam berangkat maupun pulang kerja, kendaraan bermotor berjalan merayap, bagaikan barisan semut. Sesak, pengap, bising dan gerahnya kondisi perkotaan, berpengaruh terhadap perkembangan psikologi masyarakatnya. Sementara, masyarakat kreator (seniman) membutuhkan suasana yang kondusif. Tenang, hening, jauh dari kebisingan dan kegerahan dalam proses penciptaan karya. Lantas semacam apa sikap yang dilakukan?  Bagaimana cara menghadirkan ruang untuk merenung dan mengaktualisasikan karyanya?
Ruang yang dimaknai sebagai, sela-sela antara dua, tiga, atau empat tiang, dinding (sekat, batas) atau rongga yang berbatas (terlingkung), oleh bidang. Atau Ruang diartikan sebagai, rongga yang tak berbatas, tempat segala yang ada. Renung, yaitu diam memikirkan sesuatu atau mencari ilham (ide). Raung, dimaknai bunyi yang nyaring dan panjang. Dalam dunia kesenian, raung bisa dimaknai aktualisasi karya.
Kreator, dalam proses berkarya, berkait erat dengan 3 hal, ruang, renung, raung. Pada masanya ketika berkarya, membutuhkan ruang yang tenang (kondusif) untuk merenung. Jauh dari gangguan berupa suara maupun berujud rupa. Jika karya siap untuk dipresentasikan (aktualisasi), kepada publik (masyarakat), masih dibutuhkan sebuah ruang lagi, untuk mengaktualisasikan karyanya. Sebagai kreator yang hidup, diantara hiruk-pikuknya kehidupan kota, tentu mengalami banyak kendala. Tak ayal jika seniman mencipta ruang tersendiri.
Kantong Kesenian
Taman Ismail Marjuki (TIM) di Jakarta, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Surakarta, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) atau Pusat Kesenenian Jawa Tengah (PKJT) di Semarang, Purna Budaya Jogjakarta, dan lainya, kurang mampu mewadahi, derasnya arus kreatifitas para seniman. Semestinya, Pemerintah menambah ruang lagi bagi seniman, untuk menampung karya-karyanya. Penyediaan ruang, tidak seimbang dengan adanya penambahan, jumlah seniman dan karyanya.
Sementara yang muncul dikalangan seniman adalah, kegelisahan untuk mengaktualisasikan karyanya. Dengan keterbatasan ruang yang ada, ia menciptakan ruang kreatif sendiri. Terlahirlah kantong-kantong atau Komunitas-komunitas kesenian. Teater Utan Kayu (TUK) dan Warung Apresiasi (Wapres) yang ada di Jakarta misalnya. Di kota Semarang saja, ada belasan kantong atau komunitas, yang mewadahi kegelisahan seniman kota atlas tersebut. Misal,Teater Lingkar, Laboratorium Lengkong Cilik, Rumah Seni Yaitu, Galery Bu Atie, Galery Semarang, Surau Kami, Komunitas Hysteria, Laci Kata, dan lain-lainya.
Dari kantong maupun komunitas yang diciptakan, para seniman bisa berkumpul, diskusi, dan berkarya. Karena keterbatasan ruang, acara yang diagendakan oleh seniman yang hidup di kota, tidak mampu menampung penikmat seni terlalu banyak. Berbeda dengan acara yang digelar oleh komunitas seni yang berada di daerah. Masih terdapat celah-celah yang bisa digarap. Bidang tanah yang terhampar luas, masih didapati didaerah. Tak ayal jika seniman daerah lebih leluasa dan berani berspetakuler, jika menggelar karyanya. Misal, Komunitas Gosek Tontonan dari Pati. Komunitas Kethek Ogleng dari Rembang, dan Komunitas Kalinyamatan dari Jepara.
Lain halnya dengan komunitas, kesenian tradisi (jathilan), yang tercecer di perempatan jalan. Nyaris tidak ada perhatian dan pembinaan. Lalu apa pekerjaan pemerintah dibidang seni dan budaya? Melalui Dewan Kesenian yang ia bangun, tak mampu mengatasi persoalan tersebut. Itupun masih terhambat birokasi yang dilakukan oleh oknum pemerintahan. Sebut saja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud).
Menjaga Ruang
Namun dari kantong, komunitas, atau lembaga kesenian yang ada, hanya beberapa saja, yang mampu melakukan ketahanan. Beberapa komunitas maupun kantong, bertumbangan justru karena gagap menjaga ruang. Ketika ruang kreatif terbentuk, lalu-lalang kesenian bergerak. Bergulir bagai bola es. Dalam kurun waktu tertentu, ruang menjadi senyap kembali. Energi pengelola ruang, rata-rata tekuras habis, pada awal-awal kegiatan.  Tidak bisa dipungkiri, jika pada masa tertentu, Semarang mendapat label, Kuburan Kesenian.
 Teater Lingkar, bisa dikategorikan komunitas yang mampu menjaga ruang. Sebuah komunitas kesenian, masih mampu bertahan hidup selama 37 tahun, perlu mendapatkan apresiasi tersendiri. Berawal dari kelompok kesenian, yang hidup ditengah kampung, yang nyaris tidak ada ruang untuk berproses. Dalam perjalanannya, ia ciptakan ruang-ruang untuk mengaktualisasikan (mementaskan) karya-karyanya.  Dan sampai sekarang, Mas Ton, sebagai penjaga ruang tersebut, masih menyimpan energi.
bukan berarti bahwa, beberapa kantong kesenian, yang sudah tidak aktif dan produktif, kreatornya (penjaganya) pasif. Secara fisical, ruang dan karya masih berdenyut. Misal, Rumah seni Yaitu, Galery Bu Atie, Laboratorium Lengkong Cilik. Namun gaungnya, tak meraung-raung selayaknya awal-awal kantong seni itu berdiri.  Dalam pepatah jawa berbunyi, “gogrok godhong asem.” Apakah demikian halnya kehidupan kesenian di kota Atlas? Yang identik dengan nama kotanya, Semarang, berasal dari kata, asem (pohon)dan arang (jarang)?
Sebuah fenomena menarik, terjadi pada para seniman gaek, yaitu, membangun pendopo, padepokan, atau semacam sanggar di pelosok daerah. Diusia yang mendekati udzur, mereka sudah menyiapkan diri utntuk tempat (ruang) yang tenang, jauh dari kebisingan suara kendaraan  bermotor. Misal, WS Rendra (almarhum), Sitok Srengenge, Butet Kertarajasa, dan lain-lain.  Bagaimanapun, mereka membutuhkan ruang renung yang lebih kondusif, untuk menghasilkan karya yang lebih dahsyat tentunya. Atau mereka memang menyiapkan diri untuk “pensiun.” Sehingga perlu ruang yang benar-benar jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan kota, setelah bertahun-tahun bergelut di perkotaan? Allahualam.

*) Widyo Babahe Leksono, Pegiat dan Penulis Naskah Teater di Semarang

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir di Jepara, Desember 1960. Sejak SD, dia hobi membaca majalah Panjebar Semangat. Karena itu, sekarang dia sangat senang menulis dalam bahasa Jawa, baik puisi, cerpen, dongeng, maupun naskah drama. Bukunya yang telah terbit adalah naskah drama berjudul Gayor (1998) dan dongeng pada tahun 2008 berjudul Roro Jonggrang Nagih Janji, Nawang Wulan Bali Kayangan, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Naga Baru Klinthing. Buku terbarunya sebelum buku tips mendongeng ini adalah Blakotang: Geguritan Blakblakan (Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2012) dan antologi dongeng media literasi Pocong Nonton Tivi (LeSPI dan Tifa, Mei 2012). Oktober - November 2012 dan Maret - April 2012 memberikan workshop kepenulisan bagi murid-murid SD Pesona Astra dan SD Surya Persada Pangkalanbun, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, hingga melahirkan dua buku kumpulan cerita anak sawit: Jin Pohon Sawit (Gigih Pustaka Mandiri, April 2012) dan Hutan Larangan (Gigih Pustaka Mandiri, Juni 2012).

0 komentar:

Posting Komentar