HARI AIR DUNIA

Air, dari Hulu ke Hilir

Oleh: Widyo Babahe Leksosno

Anonim Air dalam bahasa jawa= Banyu, Toya, Warih, Guwaya. Masing-masing mempunyai makna kedalaman yang berbeda. Kata tersebut tampak jelas kedalaman maknanya, ketika digunakan dalam peribahasa jawa. Misal, “golek warih apikulan warih.” Air, mempunyai sifat dan rasa yang berbeda. Perbedaan sifat dan rasa, berpengaruh pada cara menyikapinya. Penyikapan terhadap air dimasing-masing tempat (daerah), memunculkan perbedaan kultur atau budaya. Nyadran Kali atau Sendhang, adalah budaya warga pegunungan. Sedekah laut (lomban), dimiliki masyarakat pesisiran.
Air, menjadi isu besar, tatkala kemarau dan penghujan berkepanjangan. Kekeringan dan banjir. Dan sungguh ironi, hal tersebut dikategorikan bencana alam. Bukankah peristiwa itu, atas ulah manusianya sendiri? Suatu pengulangan peristiwa, berjalanan hingga puluhan tahun. Padahal, grafik menunjukkan adanya peningkatan disetiap tahunnya. Kiat dan penanganan secara serius, belum tampak. Juga antisipasi sebelum peristiwa terjadi. Penanaman pohon secara besar-besaran, sekedar lamis.
Persoalan air adalah, persoalan global. Jika bukan karena pentingnya air, United Nations Environment Programme (UNEP), merasa tidak perlu memperingatinya. Sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bergerak dibidang Lingkungan Hidup, menentukan 22 Maret sebagai Hari Air Internasional. UNEP mengajak masyarakat dunia, setidaknya satu hari dalam satu tahun, tumbuh kesadaran untuk mengingat air. Sayang, di Indonesia kususnya Jawa, budaya nyadran sendang, mulai ditinggalkan.

Save TBRS
Air, sudah tidak diperhatikan. Dari mana asalnya, dan hendak kemana tujuannya. Tak tampak ketika musim kemarau. Tiba-tiba datang (banjir) dimusim hujan. Padahal disetiap harinya, manusia selalu mengkonsumsi air. Kesadaran pentingnya ngrumat air muncul, ketika datang banjir atau kekeringan . Upaya mengantisipasi sebelum datang peristiwa, dibeberapa lingkungan masyarakat, sebenarnya masih terpelihara. Justru langkah Pemerintah lah, yang menjadikan salah kaprah.
Gerakan yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat, menyangkut lingkungan selalu kandas. Kawasan pegunungan Kendeng, di wilayah Kabupaten Pati, Blora, Rembang. Urut Sewu di Kabuten Kebumen, semenanjung Muria di Jepara, dan lain sebagainya. Upaya masyarakat untuk menjaga lingkungan, selalu terhalang oleh pengkianat, pemain (bukan penegak) hukum. Masyarakat dihadapkan oleh saudaranya sendiri (baca: politik adu domba, masa penjajahan Belanda).
Diawal tahun 2016, beberapa wilayah, termasuk Jakarta terjadi banjir. Kota Semarang aman-aman saja, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun tiba-tiba masyarakat dikejutkan, atas pemberitaan Memorandum of Understanding (MoU), antara Walkot dengan PT Trans Retail Property . tentang pembangunan Trans Studio di kawasan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang.  Walau saya ngedhem-ngedhemi, itu hanya trik politik. Namun sampai saat ini, masyarakat masih was-was, kawatir. Belum ada pernyataan secara jelas dan terbuka dari Walikota.
Tahun 1995, ketika saya masih mengajar di SMA Muhammadiyah 1. Beberapa kali siswa saya ajak ke TBRS. Termasuk didalamnya kegiatan OSIS dan Pramuka. Ketika itu, ada kolam yang cukup lumayan luasnya. didalamnya terdapat kehidupan berupa ganggang maupun plangton. Yang bisa disikapi sebagai laboratorium (secara gratis) bagi para peserta didik. Namun kolam tersebut sudah tidak bisa dimanfaatkan, sejak dibangunnya Wonderia. Beberapa mata air ditutup, dimatikan.
Jauh tahun sebelumnya. Ketika wialayah itu sebagai Tempat Hiburan Masyarakat (THR). Di dalamnya terdapat sendang, dengan ukuran kurang lebih 100 Meter Persegi. Karena untuk kepentingan tertentu, sendang tersebut ditutup. Namun alam masih berpihak pada warga sekitar. Sumber mata air masih bertahan hidup. Dengan munculnya, mata air-mata air kecil, dilingkungan TBRS. Yang sampai sekarang, masih dimanfaatkan oleh warga.
Golek warih apikulan warih, kurang tepat dengan serta merta diartikan; Mencari air, menggunakan (pikul=alat) air. Sungguh cerdas nenek moyang kita. Karena berbudaya, termasuk arif pada lingkungannya.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir di Jepara, Desember 1960. Sejak SD, dia hobi membaca majalah Panjebar Semangat. Karena itu, sekarang dia sangat senang menulis dalam bahasa Jawa, baik puisi, cerpen, dongeng, maupun naskah drama. Bukunya yang telah terbit adalah naskah drama berjudul Gayor (1998) dan dongeng pada tahun 2008 berjudul Roro Jonggrang Nagih Janji, Nawang Wulan Bali Kayangan, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Naga Baru Klinthing. Buku terbarunya sebelum buku tips mendongeng ini adalah Blakotang: Geguritan Blakblakan (Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2012) dan antologi dongeng media literasi Pocong Nonton Tivi (LeSPI dan Tifa, Mei 2012). Oktober - November 2012 dan Maret - April 2012 memberikan workshop kepenulisan bagi murid-murid SD Pesona Astra dan SD Surya Persada Pangkalanbun, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, hingga melahirkan dua buku kumpulan cerita anak sawit: Jin Pohon Sawit (Gigih Pustaka Mandiri, April 2012) dan Hutan Larangan (Gigih Pustaka Mandiri, Juni 2012).

0 komentar:

Posting Komentar