Barikan Karimunjawa

Rekam Jejak

Tradisi, Ritual dan Festival

Barikan Kubro

Karimunjawa Jepara

Jawa Tengah

 

(oleh: Widyo Babahe Leksono)

 

+ Tradisi Barikan

Tradisi Barikan di desa Karimunjawa, adalah tradisi atau kebiasaan, yang dilakukan masyarakat desa

Karimunjawa, disetiap hari Jumat Wage. Orang jawa menyebutnya Selapan sekali. Kurun waktu

selapan adalah tiga puluh lima (35) hari. Hari Kamis sebelumnya (kamis pon), jika sudah sore atau

masuk waktu Asar, menurut perhitungan orang jawa, sudah masuk hari berikutnya (jumat wage).

Maka pelaksanaan Tradisi Barikan oleh masyarakat desa Karimunjawa, biasanya dilakukan hari Kamis

Pon diwaktu sore hari.

Seperti di daerah atau desa-desa lain, diseputar kepulauan Karimunjawa, bahkan Kabupaten Jepara.

Pelaksanaan Tradisi Barikan, seringnya dilakukan dipersimpangan jalan. Baik pertigaan maupun

perempatan. Demikian pula yang terjadi di desa Karimunjawa. Pelaksanaan Tradisi Barikan,

bertempat di Perempatan Puskesmas lama.

Tradisi peninggalan para leluhur (pendahulu), yang turunmenurun sampai sekarang, belum diketahui

secara pasti, kapan asal muasal diawalinya. Secara srampangan, diperkirakan sejak jamannya para

Wali.

Ubarampe atau pernakpernik dalam Barikan meliputi, Buceng. Yaitu, nasi yang dibentuk kerucut,

setinggi kuranglebih satu jengkal jari orang dewasa, dengan diameter 10 – 20 sentimeter. Yang

dilabur (dilapisi) pati kanji yang sudah seperti lem. Buceng ditata di atas piring (dahulu layah/lemper,

sejenis piring terbuat dari tanah liat). Diseputar Buceng, ditabur kacang hijau dan garam krosok.

Tradisi Barikan sebagai bentuk visual (simbul), Tolakbalak jauh dari marabahaya (sukerta).

 

+ Ritual Barikan

Masing-masing keluarga (biasanya dilakukan oleh Ibu-ibu), membawa Buceng dari rumah, menuju ke

Perempatan. Busana yang dipakai adalah pakaian keseharian (sederhana). Wajahnya berbedak

tradisional (bedak adem). Sesampainya di perempatan, Ibu-ibu berjajar. Duduk maupun jongkok,

diseputar dan sepanjang perempatan. Buceng diletakan didepannya. Sekiranya sudah dianggap

 

cukup yang berkumpul (situasional), Modin memulai dengan Doa-doanya. Usai Modin

membawakan Doa, masing-masing mengambil Buceng dari alasnya (piring), kemudian ditaruh

ditengah-tengah perempatan. Yang tersisa dipiring, tinggal Kacang Hijau dan Garam Krosok. Yang

kemudian dibawa pulang. Sesampainya di rumah, kacang hijau dan garam krosok, ditaburkan ke

sekeliling rumah.

 

+ Tradisi Barikan Kubro

Barikan Kubro desa Karimunjawa, yang dikonsep pada tahun 2014, mempunyai tujuan, mengusung

kembali Tradisi Barikan, yang dirasa perlu untuk menjaga kelestarian budaya. Dasar pertimbangan

lain adalah, dalam kurun waktu tertentu, jika tidak dilestarikan, akan lenyap ditelan jaman. Dengan

diusungnya kembali tradis tersebut, harapannya, nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh para

pendahulu, tetap terjaga. Proses untuk penyelenggaraan, membutuhkan waktu satu tahun. Sehingga

pelaksanaan Barikan Kubro, baru bisa terselenggara pada tahun 2015.

Tradisi Barikan Kubro desa Karimunjawa, pada awalnya dikonsep bukan semata untuk desa, namun

untuk Kepulauan Karimunjawa. Seiring waktu berjalan, tradisi yang diselenggaran satu tahun sekali,

yang jatuh pada hari Jumat Wage dibulan suro (muharam), hanya diselenggarakan di desa

Karimunjawa.

Ubarampe atau pernakpernik dalam Barikan Kubro, tidak jauh berbeda dengan tradisi Barikan

selapanan. Dengan dasar penambahan kata: Kubro, pelaksanaan kegiatan ada sedikit perbedaan.

Yaitu penambahan dan pengembangan berupa Tumpeng atau Gunungan. Maksud dan tujuannya,

selain guna menumbuhkembangkan semangat Gotongroyong, juga bisa sebagai alternatif

kepariwisataan.

 

+ Ritual Barikan Kubro

Ritual Barikan Kubro adalah, pengembangan dari Ritual Barikan Selapanan. Selain ada buceng yang

dibawa Ibu-ibu dari rumah, ada satu penambahan yaitu tumpeng atau Gunungan, yang diusung

bersama-sama dari masing-masing RT. (yang dalam pengembangannya, bukan hanya diikuti

perwakilan RT, namun beberapa komunitas, paguyuban, lembaga, instansi maupun pengelola

penginapan, homstay, hotel, juga pada ikut serta). Tumpeng atau Gunungan (yang paling besar) dari

Desa, diletakkan persis ditengah-tengah perempatan. Yang kemudian diikuti tumpeng/gunungan

lain, yang ditata rapi disepanjang jalan perempatan. Warga atau masyarakat termasuk Ibu-ibu

pembawa buceng, duduk/jongkok disepanjang pinggiran jalan.

 

Jika dalam Ritual Barikan Selapanan, setelah Modin menyelesaikan Doa, buceng ditaruh ditengah

perempatan. Dalam Riual Barikan Kubro, buceng boleh dibawa kerumah, atau ditaruh ditengah

perempatan, setelah Ritual Barikan Kubro selesai.

Didalam Ritual Barikan Kubro, usai Modin memanjatkan Doa, Gong ditabuh tiga kali. Sebagai tanda

dimulainya kirap. Tumpeng/gunungan diangkat oleh masing-masing warganya. Tumpeng/gunungan

dari Desa, diusung ke Dermaga Rakyat. Sedang tumpeng yang lain, diusung menuju Alun-alun. Modin

menebar Kacang Hijau dan Garam Krosok, disepanjang perjalanan. Yang sudah dipersiapkan

sebelumnya. Dalam Barikan Kubro belum ada Pakem (ketentuan) yang baku, ubarampe tersebut

diwadahi apa.

Ditengah perjalanan mengusung tumpeng/gunungan menuju Dermaga, rombongan pembawa

tumpeng/gunungan, dihadang sekelompok Pembajak (bajakan). Kalau tradisi pegunungan disebut

Begalan. Sesampainya di Dermaga, Kepala Desa (petinggi) memotong pucuk tumpeng, yang

kemudian ditaruh diatas selembar kain putih. Yang masing-masing ujungnya (empat sudut)

dipegangi para tokoh masyarakat. Dengan kebersamaan, pucuk tumpeng ditabur ke laut.

Tumpeng/gunungan diusung kembali, menuju alun-alun. Ketika masuk pintu gerbang alun-alun,

disambut oleh Ibu-ibu dan anak-anak, dalam bentuk tari Minagara. Puncak ritual,

tumpeng/gunungan menjadi rebutan sebagian warga, dan para wisatawa, setelah usai tari Minagara.

Yang diikutsertai para warga dan simpatisan, yang membawa tumpeng/gunungan masing-masing.

Agenda makan bersama di alun-alun, sebagai penutup Ritual Barikan Kubro.

 

+ Festival Barikan Kubro

Adalah serangkaian kegiatan, yang diselenggarakan oleh masyarakat desa Karimunjawa, dibulan

Suro (muharam). Adapun rangkaian kegiatannya meliputi:

a. workshop (pelatihan) yang diselenggarakan beberapa hari, sebelum Ritual Barikan Kubro.

Materi workshop kondisional dan situasional.

b. Slametan sehari sebelumnya.

c. Ritual Barikan Kubro.

d. Panggung Seni.

e. Pameran hasil workshop/pelaihan.

Kelima hal tersebut diatas, sebagai acuan dasar. Dalam proses perjalanannya, ada penambahan

beberapa hal. Diantaranya, bazar UMKM makanan tradisional dan Lomba tumpeng.

 

*) catatan:

 

Nilai-nilai ajaran atau Filosofi, yang terkandung dimasing-masing kegiatan,

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir di Jepara, Desember 1960. Sejak SD, dia hobi membaca majalah Panjebar Semangat. Karena itu, sekarang dia sangat senang menulis dalam bahasa Jawa, baik puisi, cerpen, dongeng, maupun naskah drama. Bukunya yang telah terbit adalah naskah drama berjudul Gayor (1998) dan dongeng pada tahun 2008 berjudul Roro Jonggrang Nagih Janji, Nawang Wulan Bali Kayangan, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Naga Baru Klinthing. Buku terbarunya sebelum buku tips mendongeng ini adalah Blakotang: Geguritan Blakblakan (Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2012) dan antologi dongeng media literasi Pocong Nonton Tivi (LeSPI dan Tifa, Mei 2012). Oktober - November 2012 dan Maret - April 2012 memberikan workshop kepenulisan bagi murid-murid SD Pesona Astra dan SD Surya Persada Pangkalanbun, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, hingga melahirkan dua buku kumpulan cerita anak sawit: Jin Pohon Sawit (Gigih Pustaka Mandiri, April 2012) dan Hutan Larangan (Gigih Pustaka Mandiri, Juni 2012).

0 komentar:

Posting Komentar