Artsotika Muria di Dekade Pertama

Oleh: Widyo Babahe Leksono

Di tulisan saya yang pertama tentang Artsotika Muria(Desember 2018), ada tiga hal penting yang perlu dicatat yaitu,

1.    Menjaga dan merawat.

2.    Mengembalikan.

3.    Menumbuhkembangkan.

Ketiganya menyangkut potensi yang ada di Muria, yang berkait erat dengan, Hayati, Tanah, Air, Batu dan Budaya. Satu hal lagi, yang paling penting, selain ketiga hal tersebut, yaitu tentang Gotong royong.

Mengawali langkah, di Dekade Pertama, muncul beberapa kendala,

-       Kecurigaan para pegiat tentang sebuah Proyek Besar. Entah itu dari Pemerintah atau Founding.

-       Sosialisasi konsep/kegiatan dengan masyarakat (desa), yang akan ditempati (untuk acara/kegiatan).

-       Pendanaan.

Waktu berjalan, Artsotika Muria menjadi tekat bulat para pegiatnya, yang dengan Gotongroyong, menjaga, merawat, mengembalikan dan menumbuhkembangkan Alam Muria. Gotongroyong memang kunci utama. Sehingga modal utama ini, Artsotika Muria menghandalkan, memaksimalkan kekayaan dan kekuatan alam/lingkungan. Dengan kegotongroyongan ini, bahu membahu bisa meringankan beban kebutuhan.

                                   

Artsotika Muria bukan Paguyuban, Organisasi, Lembaga, Yayasan atau yang sejenisya. Artsotika Muria adalah Spirit, untuk merealisasi ketiga hal tersebut diatas. Pun dengan demikian, tidak ada ikatan apapun dengan perseorangan maupun kelompok yang ikut terlibat kegiatan. Daya ikat dan pikat Artsotika Muria, spirit tersebut. Hal yang paling dihindari adalah, bubar atau hancurnya suatu kelompok karena persoalan Uang.

Di Dekade Pertama, beberapa pelaku yang pernah ikut terlibat yaitu, Pegiat Seni dan Budaya, Pegiat Lingkungan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, Pemerintah Desa, Petani, Tukang, Pegiat Sejarah, Mahasiswa, Pelajar, Ibu Rumah Tangga, PKK desa, Guru, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kecamatan, Komunitas Penulis/Literasi, Dewan Kesenian, Wartawan/Media, Pegiat Film, Dukun/Spiritual, Komunitas Kopi, . . .  (maaf jika ada yang pernah terlibat belum tertulis).

Masih banyak persoalan yang belum tersentuh dalam laku menjaga dan merawat Muria. Penebangan pohon, penggalian sungai, pengeprasan bukit, pengeboran tanah. Menanam dan menumbuhkan kesadaran masyakarat, betapa pentingnya manfaat lingkungan Muria, untuk masa-masa mendatang. Dimusim penghujan, berkali terjadi banjir, tanah longsor dan pohon tumbang. Kekeringan atau kekurangan air dimusim kemarau.

Alih fungsi lahan (hutan) dan pengembangan kepariwisataan, adalah ancaman besar bagi kelestarian Muria. Secara ekstrim gerakan Artsotika Muria Menolak kedua hal tersebut. Kebijakan harus ditumbuhkan. Karena kedua hal tersebut bagian dari program pemerintah, juga sebagai penopang hidup masyarakat setempat. Pelaku Artsotika Muria, tergerak mencari solusi terbaik.

Menanam itu mudah dibanding merawat. Termasuk menanam Manusia. Diakir Dekade Pertama, muncullah gagasan “Gerakan Tilik Tanduran.” Selain secara riil menanam pohon, kegiatan yang telah dilakukan adalah, resik-resik kali, belik/sendang atau mata air, dan sosial masyarakat. Beberapa bulan setelah kegiatan Artsotika Muria, team kecil melakukan silaturahmi ke desa yang pernah disinggahi. Walau hanya terbatas beberapa personil.

Hayati, baik tumbuhan maupun binatang, ada beberapa jenis berangsur punah. Harimau Muria ekosistemnya mulai terancam. Beberapa kali didapati, Harimau turun ke desa. Edukasi kepada warga sangat dibutuhkan. Tidak membunuhnya tetapi menghalau atau sekalian memberi makan. Gerakan Artsotika Muria menawarkan, adanya Lembaga atau Komunitas peduli Harimau Muria. Aksi sosial kepada warga/masyarakat berupa, mengganti ternak warga yang menjadi korban (dimangsa).

Himbauan bahkan peringatan pelanggaran hukum, dengan ancaman denda atau penjara, tentang perburuan liar, masih terabaikan. Tidak membuat efek jera. Penebangan pohon memang sudah berkurang, tetapi mematikan pohon, dengan cara dikerat masih marak. (jika pohon mati, lahan dimanfaatkan untuk perkebunan). Sekiranya perlu melibatkan penegak hukum, untuk menindak secara tegas (sungguh-sungguh).

Situs, Artefak dan Terakota peninggalan pada masa lalu, tersebar luas dilereng-lereng bukit Muria. Pendataan memang sudah dilakukan oleh Balai Arkeologi (balar) bersama warga setempat. Namun belum maksimal, karena ada beberapa yang susah dijangkau karena medan. Merawat dan Menjaga perlu sekiranya untuk ditingkatkan. Sebab terindikasi banyaknya benda-benda tersebut yang hilang. Lalu siapa yang berkuwajiban untuk itu?

 


Jepara, 24 Mei 2023.

 

+) Catatan:

Dekade adalah satu putaran penyelenggaraan Artsotika Muria. Sementara waktu, penyelenggaraan diadakan satu tahun sekali, disetiap Wilayah (kabupaten). Dengan demiikian, dalan satu putaran (dekade) ada tiga penyelenggaraan dalam waktu tiga tahun.





Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir di Jepara, Desember 1960. Sejak SD, dia hobi membaca majalah Panjebar Semangat. Karena itu, sekarang dia sangat senang menulis dalam bahasa Jawa, baik puisi, cerpen, dongeng, maupun naskah drama. Bukunya yang telah terbit adalah naskah drama berjudul Gayor (1998) dan dongeng pada tahun 2008 berjudul Roro Jonggrang Nagih Janji, Nawang Wulan Bali Kayangan, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Naga Baru Klinthing. Buku terbarunya sebelum buku tips mendongeng ini adalah Blakotang: Geguritan Blakblakan (Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2012) dan antologi dongeng media literasi Pocong Nonton Tivi (LeSPI dan Tifa, Mei 2012). Oktober - November 2012 dan Maret - April 2012 memberikan workshop kepenulisan bagi murid-murid SD Pesona Astra dan SD Surya Persada Pangkalanbun, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, hingga melahirkan dua buku kumpulan cerita anak sawit: Jin Pohon Sawit (Gigih Pustaka Mandiri, April 2012) dan Hutan Larangan (Gigih Pustaka Mandiri, Juni 2012).

0 komentar:

Posting Komentar