Menuju Artsotikamuria

Save Muria dalam Budaya

 Rabu, 6 Maret 2019. Di seputar wilayah Universitas Muria Kudus, sejak sore hari diguyur hujan. Hingga malam hujan pun belum mereda. Malam itu Komunitas Seni Samar punya hajad. Ulang tahun yang ke 21. Bertempat di Auditorium UMK, acara demi acara berjalan lancar. Sepertinya penggemar teater Kudus, pada malam itu abai soal hujan. Ratusan penonton memadati ruangan.
Acara yang ditunggu-tunggu tiba. Pementasan Teater berjudul "Bregada Merudhandha" tulisan Leo Katarsis, dengan sutradara Ahmad "Mophet" Safrudin. Si tangan dingin Mophet pada garapan malam itu, sepertinya beku. Dinginnya makin menjadi. Barangkali lama tidak "nggarap" atau terjun dalam pergulatan teater, sehingga banyak hal yang ia lepas begitu saja. (sebenarnya tidak begitu. Mahkluk yang satu ini belum bisa berkata Tidak alias pekiwuhan). Termasuk kostum. Sayang kostum para prajurit yang begitu eksotis, artiktis, dan mistis, menjadi pudar, saat Sang Raja dihadirkan dalam kostum ala Ketoprak.
Pada malam berikutnya, kami ngobrol santai di Omah Pencu, yang juga sebagai Posnya Komunitas Samar. Obrolan tidak menyoal pementasan malam sebelumnya. Kami sepakat, pementasan "New Samar" tahun ini masih sebatas "Bibit." Belum bicar soal "Bobot" apalagi "Bebet." Tinggal kita menunggu, kapan bibit itu tumbuh kembang dan merebak.
"Bregada Merudhandha" itu yang kami soal. Mengapa? Untuk apa? Untuk siapa?
Bregada Manyura adalah pasukan pilihan Medang Mataram (mataram kuno). dipimpin oleh seorang Panglima Hang Anggana saudara sepupu Ratu sanjaya, satu keturunan dari Ratu Shima. Yang menumpas "pemberontak" dari kerajaan Sunda-Galuh. Usai memadamkan pemberontakan, Anggana dan pasukannya bergegas kembali ke Medang. Kemenangan Anggana dan pasukannya tak berarti. Ratu Sanjaya gugur dalam penyerbuan pasukan Sriwijaya, ketika Bregada meninggalkan Medang.
Anggana meninggalkan Kerajaan Medang kembali ke Tanah Muria, diikuti Bregada Manyura yang tersisa. Mereka mensucikan diri, melakukan semedi Merudhandha. Anggana menjalani hidup selanjutnya sebagai orang biasa dan pasukannya menyebar dari Tanjung Para sampai Teluk Silugangga, menjaga Tanah Muria.
Menjaga Muria. Itu yang kami garis bawahi. Perform Teater Samar, tidak berarti apa-apa, jika hanya selesai dalam persoalan Art perteateran. Ada yang lebih penting. Membuka wacana, pemahaman, dan berikut, merasa Handarbeni (memiliki) Muria. Isu kerusakan Muria belum Viral memang. Namun apakah memang menunggu serangan "pasukan Sriwijaya?" ataukah menunggu "Sanjaya" Gugur?Leo Katarsis, dalam dialog budaya usai pementasan bersemangat. Sulutan api patriotisnya membara. Menunggu lahirnya "Anggana Melenia."

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir di Jepara, Desember 1960. Sejak SD, dia hobi membaca majalah Panjebar Semangat. Karena itu, sekarang dia sangat senang menulis dalam bahasa Jawa, baik puisi, cerpen, dongeng, maupun naskah drama. Bukunya yang telah terbit adalah naskah drama berjudul Gayor (1998) dan dongeng pada tahun 2008 berjudul Roro Jonggrang Nagih Janji, Nawang Wulan Bali Kayangan, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Naga Baru Klinthing. Buku terbarunya sebelum buku tips mendongeng ini adalah Blakotang: Geguritan Blakblakan (Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2012) dan antologi dongeng media literasi Pocong Nonton Tivi (LeSPI dan Tifa, Mei 2012). Oktober - November 2012 dan Maret - April 2012 memberikan workshop kepenulisan bagi murid-murid SD Pesona Astra dan SD Surya Persada Pangkalanbun, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, hingga melahirkan dua buku kumpulan cerita anak sawit: Jin Pohon Sawit (Gigih Pustaka Mandiri, April 2012) dan Hutan Larangan (Gigih Pustaka Mandiri, Juni 2012).

0 komentar:

Posting Komentar