Menuju Hatedu Semarang 2019

Migrasi Kampus ke Kampung

Minggu malam (20/1), diselimuti dingin. Beruntung, tak hujan malam itu. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Sekitar 40 manusia peduli Teater, berkumpul. Ngrembug soal Hatedu Semarang 2019. Pengamat, jurnalis, pelaku, penikmat, bahkan tanpa latar belakang teater pun ikut gabung. Di Lobi sekretariat Dewan Kesenian Semarang (Dekase), diskusi menuju Hatedu Semarang 2019 dimulai (20.39 wib). Sebagai pemantik: Aristya Kuver (jurnalis), Alviyanto (pengamat dan pelaku), Daniel Godam (pengamat dan pelaku) dari Ambarawa, yang niatnya Cuma silaturahmi, ikut ketiban sampur.

Sebelum masuk diskusi inti, bicarakan kondisi Teater Semarang belakangan (tahun 2018-an). Semacam refleksi. Pementasan di 2018, masih didominasi Teater kampus. Pelaku maupun ruang/tempat pementasan, Dari dan Di Kampus. Tak bisa dipungkiri, menyoal teater di Semarang, ya Teater Kampus. Dan sekian masa, Teater Kampus dikondisikan dan ditata oleh Forum Teater Kampus Semarang (fotkas). Malam itu, Bintang Alhuda mengajak audien melepas baju kelompok/keorganisasian masing-masing. Baru bicaraan dan mewacana, konsep peringatan Hatedu Semarang 2019.

"Titik Kumpul," sebutan acara Peringatan Hatedu itu. Tahun 2019 adalah tahun ke 3. Wacana mengerucut pada, pelaksanaan "Titik Kumpul #3" di Kampung. Muncul wacana juga, masyarakat kampung diikutsertakan terlibat. Baik sebagai penyelenggara maupun perform. Ada 8 Kampung yang terlontarkan, kampung Jati Wayang, Randu Sari, Gabahan, Mijen, Kandri, Sendang Guwo, Kalialang, Roro Jonggang.  Ke delapan Kampung tersebut, dalam kategori belum mengenal teater. Strategi yang dilakukan adalah pendampingan masing-masing kampung, oleh pegiat teater kampus.

Diskusi diakiri pukul 00. 17 wib. Akan dilanjutkan Minggu depannya (27/1). Masih ada beberapa PR. Kampung sebagai tempat Hatedu, konten dan pengisi acara, dan tidak kalah penting Tema atau isu yang akan diangkat. Setidaknya, dalam hal ini ada gerakan yang berbeda, Migrasinya teater Kampus ke Kampung. (Widyo Babahe Leksono).

#hatedusemarang2019

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir di Jepara, Desember 1960. Sejak SD, dia hobi membaca majalah Panjebar Semangat. Karena itu, sekarang dia sangat senang menulis dalam bahasa Jawa, baik puisi, cerpen, dongeng, maupun naskah drama. Bukunya yang telah terbit adalah naskah drama berjudul Gayor (1998) dan dongeng pada tahun 2008 berjudul Roro Jonggrang Nagih Janji, Nawang Wulan Bali Kayangan, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Naga Baru Klinthing. Buku terbarunya sebelum buku tips mendongeng ini adalah Blakotang: Geguritan Blakblakan (Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2012) dan antologi dongeng media literasi Pocong Nonton Tivi (LeSPI dan Tifa, Mei 2012). Oktober - November 2012 dan Maret - April 2012 memberikan workshop kepenulisan bagi murid-murid SD Pesona Astra dan SD Surya Persada Pangkalanbun, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, hingga melahirkan dua buku kumpulan cerita anak sawit: Jin Pohon Sawit (Gigih Pustaka Mandiri, April 2012) dan Hutan Larangan (Gigih Pustaka Mandiri, Juni 2012).

0 komentar:

Posting Komentar