Home
Archive for
Januari 2016
NYANYIAN PELANGI
Oleh: Catur Widya Pragolapati
ADEGAN SATU
Panggung gelap. Alunan Musik (vokal), “Ibu Pertiwi” diulang beberapa kali.
Pemain masuk dari kiri/kanan Panggung, membawa lilin, menyala. Kemudian membuat
formasi, di dalam Panggung.
Pelangi Satu:
Namaku Pelangi... sebenarnya aku sekolah hanya mengikuti kehendak ortu. Aku
sendiri sebenarnya sudah bosan, karena sekolah pelajarannya begitu-begitu saja.
(meniup lilinnya).
Pelangi Dua:
Namaku Pelangi... pada awalnya aku semangat mengikuti pelajaran. Lama-lama
semangatku memudar. Teman-teman selalu menggantungkan diri padaku. Mengerjakan
tugas, piket, dan kadang ulangan harian. Aku merasa dimanfaatkan oleh
teman-teman. (meniup lilinnya).
Pelangi Tiga:
Namaku Pelangi... berangkat sekolah semangatku luar biasa. Sampai di
sekolah pupuslah sudah. Aturan-aturan yang ketat, menjadikan aku berpikir,
bagaimana membuat siasat. (meniup
lilinnya).
Pelangi Empat:
Namaku Pelangi... semakin lama aku sekolah, semakin bertambah dustaku,
terhadap ortu dan guru. Pura-pura sakit pada pelajaran yang tidak aku suka. (meniup lilinnya).
Pelangi Lima:
Namaku Pelangi... berangkat dari rumah, selalu tidak sampai di sekolah.
Bertemu teman lain diluar sekolah. Aku tidak berfikir, bagaimana ortu
beresusah-susah mencari nafkah, dan beaya sekolah. (meniup lilinnya).
Pelangi Enam:
Namaku Pelangi... mengapa sekolah justru malah menjadi susah. Benarkah kata
pepatah, berakit ke hulu, berenang ke tepian? Jika aku lari dari hal ini,
berarti aku mengkianati diri. Namun, haruskah ini aku jalani. (meniup lilinnya).
Semua Pelangai:
Namaku Pelangi... mestinya sekolah mencari
pengetahuan, bukan mencari ijasah. Lembaran kertas yang sah, dari lembaga yang
bernama sekolah. Namun keadaan masih belum bisa berubah... haruskah aku tetap
begini...
Pelangi Inti:
Kawan-kawan... mari kita mencari kebebasan.
Semua Pelangi:
Kebebasan? Kebebasan apa?
Pelangi Inti:
Kebebasan dalam mencari ilmu dan pengetahuan. (meniup
lilinnya. Sebelumnya pelahan Lampu General panggung menyala).
Semua Pelangi:
Kebebasan, kebebasan... dimana kau? Kebebasan, kebebasan... dimana rumahmu?
Kebebasan, kebebasan... dimana kau? Kebebasan, kebebasan... dimana sekolahmu? (
diulang beberapa kali, sembari keluar panggung, kecuali Pelangi Inti). (Lampu
Padam, kecuali fokus Pelangi Inti).
ADEGAN DUA
Pelangi Inti duduk bersimpuh di tengah Panggung. Tubuhnya luluh, tak
berdaya. Menatap kedepan, tanpa harapan. Lampu hanya (fokus) pada Pelangi Inti.
Suara:
Pelangi... jika kau tidak membongkar pemikiran-pemikiran lama, maka kau bakal
dipermalukan oleh pemikiran itu sendiri. Diera globalisasi itu sendiri, bisa
jadi akan berlaku seperti masa, jauh dari masa-masa sebelumnya. Bahkan hukum
rimba akan berlaku kembali. Siapa kuat, itulah pemenangnya. Tataplah jauh ke
depan, pelangi! Dan jangan ragu, untuk menengok sesat ke belakang. Karena,
depan dan belakang, hampir tidak ada bedanya. Semuanya fatamurgana. Ada tapi
tiada. Tiada tapi ada... itulah!
Pelangi Inti:
Fatamurgana? Ada tapi tiada? Tiada tapi ada? Aku kurang mengerti...
Suara:
Memang kau belum mengerti. Dan selamanya tidak akan mengerti, jika
selamanya kau tidak mencari!
Pelangi Inti:
Mencari? Mencari apa? Kepada siapa?
Suara:
Mencari apa? Tanyakan pada dirimu?
Pelangi Inti:
Mencari...? ya, kebebasan. Aku mencari kebebasan. Kebebasan dalam
berpengetahuan dan pemahaman. Lalu kemana aku mencari? Kepada siapa aku
mencari?
Orang Satu: (sedang
asyik melakukan penelitian, diluar garis Panggung) aku disini, Pelangi!
Pelangi Inti:
Siapa kau?
Orang Satu:
Kebebasan!
Pelangi Inti:
Kebebasan?
Orang Satu:
Ya, kebebasan! Bebas dari segala belenggu yang mengikat.
Semua Pelangi:
(masuk Panggung, berjalan seperti Robot, sambil dialog. Kemudian membentuk
formasi, dibelakang Pelangi Inti. Pelahan Lampu General menyala). Namaku
Pelangi... aku memang dalam keterbelengguan, dari doktrin-doktrin dan dokma
yang ada. Terbelenggu dalam aturan-aturan yang mengikat.
Pelangi Inti:
Kebebasan... bolehkan kami bersamamu?
Semua Pelangi:
iya, kebebasan... bolehkah kami bersamamu?
Orang Satu: (masih
asyik penelitian, diluar garis Panggung) Tidak!
Semua Pelangi:
Tidak!? Kenapa?
Orang Satu:
Karena kalian masih berikat dan berkait dengan ortu-ortu kalian!
Semua Pelangi:
Bukankah mereka ortu-ortu yang selalu menjaga dan membimbing kami?
Orang Satu:
(menghentikan penelitian, masuk garis/dalam Panggung) ortu-ortu yang selalu
mendikte disetiap langkah kalian, kau sebut menjaga dan membimbing?
Semua Pelangi:
Tetapi, bagaimanapun juga, mereka adalah ortu kami. Kami harus selalu patuh
dan hormat pada mereka. Dan lagi, kami memang belum bisa lepas dari meereka.
Kami masih membutuhkan mereka, dalam beberapa kebutuhan. Maka kami masih tetap
berikat dan berkait dengan ortu-ortu kami.
Orang Satu:
Bagaiman kalian bisa bersama saya, jika selamanya kalian masih belum bisa
memberi garis batas yang jelas, tentang yang berikat dan yang berkait.
Semua Pelangi: Kebebasan... apakah
kau juga pernah seperti kami?
Orang Satu:
Ya! Namun ketidak jelasan itu telah tersaput angin. Angin yang tercipta
dari dua haluan. Aku dan ortu.
Semua Pelangi:
Caranya?
Orang Dua:
(masuk dari sudut Panggung belakang) Kemengertian dan kerelaan. Kita harus
mengerti dan kemudian rela, betapa pentingnya mencari ilmu. Mengerti ilmu itu
perlu dan kemudian rela, kemana dan dimana mencarinya. Ketidak mengertian dan
ketidak relaan itu, menghambat sebuah proses pencarian.
Semua Pelangi:
Siapa kau?
Orang Dua:
Kebebasan!
Semua Pelangi:
(sambil memandang Orang Satu) Kebebasan? Kok namamu sama dengan dia?
Orang Dua:
iya! Sama tapi tak serupa.
Semua Pelangi: Kebebasan...
setelah kami saling mengerti dan rela?
Orang Satu:
tampaklah garis pembatas antara yang berikat dan yang berkait. Keberikatan
dan keberkaitan, hanya ada pada nurma atau aturan-aturan, yang dibentuk oleh ortu-ortu
dan kalian sendiri. (keluar Panggung).
Semua Pelangi:
Kebebasan... Kebebasan... kami masih belum mengerti...
Pelangi Inti:
Kita tidak akan pernah mengerti, jika selamanya tidak akan pernah mencari.
Kawan-kawan, mari kita mencari, sampai kita mengerti. (Lampu Padam).
ADEGAN TIGA
Pemutaran VCD, “Belajar Sepanjang Hayat” karya
siswa Sekolah Qoryah Toyyibah, Salatiga Jateng.
Usai pemutaran, lampu Panggung pelahan nyala. Semua Pelangi masuk.
Pelangi Tiga:
Iya, sekarang aku mengerti.
Pelangi lima:
Mengerti apa? Baru sekilas saja sudah mengatakan mengerti.
Pelangi Satu:
Benar. Hanya sekilas. Namun setidaknya, kita bisa membuka diri, bagaimana
harus berpikir.
Pelangi Dua:
Aku baru sadar, bahwa selama ini, kita terpatok oleh suatu hal yang ada,
yang disebut pemikiran. Menerima apa adanya, tanpa pencarian kebenaran
pemikiran itu.
Pelangi Empat:
Jangan-jangan memang kehendak ortu-ortu kita, atau memang dikondisikan oleh
pemikiran orang-orang sebelum kita? Ah, aku semakin bertambah pusing.
Pelangi Enam:
Kalau demikian, kita perlu mencarai lagi?
Pelangi Satu:
Belajar menggapai masa depan. Belajar bisa dimana-mana. Tak terbatas
ruang dan masa.
Pelangi Dua:
Benar kawan. Selama ini yang kita lakukan adalah, belajar disaat
bersekolah. Ketika libur sekolah, bahkan tamat dari sekolah maupun kuliah,
selesailah!
Pelangi Lima:
Nah... ini baru dikatakan mengerti. Walau baru awalnya saja.
Pelangi Tiga:
baru awalnya saja? Lalu akirnya?
Pelangi Empat:
Tak terbatas. Belajar tak mengenal jenis dan usia.
Pelangi Inti:
tetapi kawan-kawan... selama ini kita masih terkurung oleh semua itu.
Dinding yang bersekat, yang bernama sekolah.
Pelangi Satu:
Jika pengertian sekolah, hanya sampai pada dinding yang bersekat, dengan
segala jenisnya, maka demikianlah adanya.
Pelangi Empat:
Dunia, alam semesta ini, menyimpan banyak misteri. Masih banyak yang belum
dimengerti para ahli.
Pelangi Tiga:
Kalau demikian, kita masih perlu mencari lagi?
Pelangi Dua:
Iya, mencari, mencari dan mencari...!
Pelangi Inti:
Fatamurgana. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Rupanya sudah mulai jelas
keberadaannya. Bahkan ketiadaanya.
Semua Pelangi:
Kebebasan... Kebebasan... Dimana kau? Kami sudah
semakin mengerti. Kemarilah, ajaklah kami untuk mencari, agar kami lebih
mengerti...
Pelangi Lima:
Dasar anak-anak manusia suka
memaksakan kehendak. Aku katakan selaki lagi, bahwa semua ini baru awal dari
sebuah pencarian!
Pelangi Dua:
Sudahlah kawan-kawan... jangan tergesa-gesa. Mari kita lanjutkan
pencarian ini.
Pelangi Tiga:
lalu, kemana lagi kita akan mencari?
Orang Satu:
(masuk Panggung) Kalau dunia dan semesta yang terhampar luas ini, adalah
sekolah dan laborat, mengapa kita harus sekolah di dinding yang bersekat, yang
sebenarnya mengurung, membelenggu dan memisahkan kalian dari apa yang
sebenarnya kalian cari selama ini?
Semua Pelangi:
Kami tetap butuh ijasah. Lembaran kertas yang sah dari lembaga yang bernama
sekolah...
Orang Satu:
Dan setelah itu, musnah semua pengetahuan dan pemahaman. Karena yang kalian
cari adalah nilai, yang berupa peringkat angka-angka. Bukan nilai dalam bentuk
kemengertian.
Semua Pelangi: Tapi kebebasan,
bukankah hal itu bagian dari proses, tempat dimana kami belajar
Orang Satu:
Bukan proses atau prosedur yang berlaku. Tetapi penyikapan kalian, terhadap
proses itu sendiri. Sehingga kalian terjebak didalamnya. Terus saja kalian
ikuti, penyikapan terhadap proses itu. Dan selamanya kalian tidak akan bisa bersama
kebebasan.
Semua Pelangi:
Kebebasan! Beri kami motivasi, beri kami kepercayaan, agar kami bisa
menyikapi kebebasan dalam suatu pencarian.
Orang Dua:
(masuk dari sudut Panggung belakang) Kemengertian dan kerelaan. Kita harus
mengerti dan kemudian rela, betapa pentingnya mencari ilmu. Mengerti ilmu itu
perlu dan kemudian rela, kemana dan dimana mencarinya. Ketidak mengertian dan
ketidak relaan itu, menghambat sebuah proses pencarian.
Semua Pelangi:
(kepada penonton, tatapan jauh ke depan) Kawan-kawan... memang tidak ada
kehendak ortu, yang menginginkan anaknya, melebihi pahitnya kehidupan yang
dialaminya. Dan kami, tidak ingin seperti itu. Bisakah kami dan ortu bersama,
berakit kehulu dan berenang ketepian...?
Orang Satu & Dua:
Dan akan kalian temukan, disanalah rumahmu, disanalah kampung halamanmu,
Pelangi!
-S-E-L-E-S-A-I-
*) Diadabtasi & diketik
ulang di Rumah Pak Jon, Afdeling Eko, GSPP PT ASTRA Agro Lestari, Pangkalan
Banteng, Kotawaringin Barat, Kalteng, 10 September 2013.
*) naskah asli berjudul “Ensiklopedi
Pelangi” diketik di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Semarang, Jateng, 15
Pebruari 2009.
*) terinspirasi dari:
-Naskah “Mimpi-mimpi” karya
TB kamaludin (guru SMA 70 Jakarta).
- Proses belajar Sekolah
Qoryah Toyyibah Salatiga, Jateng.
- Hasil data curhat siswa
SMA Nasima Semarang, Jateng.
---------------------------------------------------------------------
Mangsa
Ganjil
Siji, telu, lima, pitu, … … … sangangpuluh sanga,
tung entungane angka,
ning ora angger ngetung tumtrabe wong jawa.
Mestine wis nganggo petung sing premana,
tumrabe nyedhekahi marang sing wis ora ana ing alam donya,
ing malem-malem ganjil,
ganjile tumrab tung etungane angka,
nanging kabeh wis kapetung sing ngemu makna.
Beda makna tumrab ganjile sing ora genep,
kang bisa karan kurang jangkep,
ngrusak tatanan sing wis trep.
beda makna tumrabe sing lagi mangsa,
kang bisa karan mangan, nyaplok, nggaglag kanti meksa,
ra prelu mikir sapa sing dimangsa.
Mangsa ganjile sing wicaksana,
duwe etung lan petung,
tinggalane leluhur kang pinunggul,
mangsa wayah laku pasa lan tapa,
kanggo sangu urip, pungkure urip saka donya.
Semarang, 20
September 2012
Mangsa Pacoban
Iki jaman, jamane tambah saya ora
karuwan,
critane simbah, rikala jamane, ya
ora karuwan,
ngendikane simbah, urip kuwi
pancen kebak pacoban.
“nggih
leres mbah, saniki kathah tiyang ingkang pacebukan,
kathah ingkang kapusan, klendran,
lali
sakabehe kwajiban.”
Iki jaman, jamane tambah saya ora
karuwan,
padha nglali tatanan, ninggalke
paugeran,
tibane padha regejegan.
(golek
bebener, nyalahke liyan,
sing
kliru digugu, sing bener kateter,
tatanan lan paugeran mung kanggo tenger lan
dolanan).
Iki jaman, jamane tambah saya ora
karuwan,
Simbah isih ngeyel, iki jamane
pacoban,
kudu diadepi kanti teteging ati,
kudu dilakoni kanti laku sing premadi.
(pancen
bener simbah, Permadi ya Janaka,
suka
laku pasa lan tapa,
entuk-entukane mboyong putri lan wanita).
“Pancen bocah saiki, angel
dituturi … … … “
Semarang, 20
September 2012
Mangsa Tandur
Ketiga ngingking, kabeh garing,
wit-witan, sato kewan, gering,
barat ora kemlebat, banyu ra
gemuyu,
nelesi jagad sing kuyu-kuyu.
Oalah cabang bayi,
semut ireng anak-anak sapi,
kabeh dikukupi kanggo
kepentingane dhewe,
mata peteng ra mikir sing keri,
ninggali nggo tembe mburine.
“Cempe-cempe
undangke barat gedhe,
tak opahi duduh tape,
udan banyu tibakke rene.”
Lemah teles, gusti sing mbales,
iki piwales, marang sing
nggrantes,
miliha wiji sing mentes,
tandurana, rumatana sing prayoga,
bakal thukul tanduran, wit lan
woh sing ngrembaka.
Mangsa tandur sing ati-ati,
Milih wiji kanti setiti,
Akeh wiji katon nyengsemke ati,
Salah milih bisa nyilakani.
Semarang, 20
September 2012
Lintang Panjer Esuk
Ing pereng wetan rada ngalor,
sumunar cahya kang wis tak kira,
kuwi lintang panjer esuk,
nanging aku isih ora precaya,
bener lintang apa cahya jinis
liya?
Mripat tak bukak amba-amba,
mbok menawa ndaru sing arep tiba,
salah mangsa,
jebul ora,
pancen lintang panjer esuk sing
rada beda.
Tak pandeng, tak penthelengi,
mripat iki kaya leleh,
lintange ora obah, ora geseh,
cahyane ambyor nrabas petenge
wengi.
Lintang panjer esuk,
gawe obah wadhagku, gawe geseh
pikirku,
Gusti maringi tandha,
Pikiran iki othak-athik makna,
Tetep buntet, mbulet udhet.
Tak bukak betaljemur adamakna,
setu paing, gunggunge paling
tuwa,
pikiran tambah ngambrawara,
jagad saya tuwa …
jaman saya tuwa …
nagara saya tuwa …
prekara tambah tuwa …
knapa pikir iki ora tambah tuwa.
Lintang panjer esuk,
sing metu ngarepi esuk,
Gusti maringi tandha?
kuwi mung pikir sing kegedhen
rumangsa.
Semarang, 20
September 2012
Mbulane Nanggal Kapisan
Katon nylirit, merit,
alise wanita pawicaran,
kembang lambene kembang padesan,
dadi rerasan kaum priya,
Alise nanggal kapisan,
Ngibaratke mbulan sing lagi
nanggal,
Kapisan.
Mbulan nanggal kapisan,
katon nylirit, merit,
wayah surup, lekase srengenge
angslup,
ing pereng kulon,
kasaput mega candhikala.
Kala digatekna,
kanggone pamuka agama,
bisa-a dinggo tandha,
nanggal kapisan tibane wulan apa.
(asringe ora digatekna, saliyane
wulan riyaya).
Asringe para pamuka agama,
regejegan beda swara,
apa pancen kudu ngana,
agama kanggo srana,
regejegan golek kawula.
“assalamu’alaikum mbulan,
tuwa mbulan, nom tanggal, nom-nom aku.”
Semarang, 20
September 2012
Srengenge Ngglewang Mangulon
srengengene wis ngglewang
mangulon
lumakune wis separo dina
nglereni samubarang sauntara
nyisihke wektu manembah kang
kuwasa
srengengene wis ngglewang
mangulon
pas sandhuwure mustaka
ubun-ubun iki krasa
mlethek-mletheka
wayah ketiga srengenge kaya ra
duwe duga
srengengene wis ngglewang
mangulon
kadang tani ngeyub nang gubugan
kipasan caping, nyawang tanduran
pikire nglambrang ra ana tujuwan
kelingan utang,
nyaure ngenteni panenan
semarang, 21 Sept.
2012
Puspa Tajem
Wengi iki,
pancen wis tak niati,
niat ingsun ngadhep mring Gusti.
Wengi iki,
ora kaya wengi-wengi sadurunge,
tak lon-loni turu sore,
betheke tangi bisa tengah wengi.
Wengi iki,
Piranti sesuci cumepak pepak,
Jedhing kebak Kembang setaman.
Wengi iki,
mbuh apa sing tak goleki,
karep ati pingin sesuci,
manekung, manembah, ngadhep Gusti,
ing lingsir, tengah wengi.
apa aku kangen
mring Gusti …
apa Gusti
kangen marang aku …
aku rung ngerteni,
mengko esuk tak critani.
21 Sept. 2012
Brokohan
brokohan ya krayahan
rebutan pangan lekas babaran
adat paugeran wis kalis jaman
isih uga dilakoni
nuhoni apa merga wedi
kuwalat, kuwatir kesrakat
brokohan jaman saiki
ra perlu ngenteni babaran
ngrayah rupiyah lemari pamrintah
matek-a aji kodhok mlongok
cecak baya nek perlu disogok
ben wae bengak-bengok
asline lholhak-lholhok
21 Sept. 2012
JAMURAN
yo pra kanca dolanan nang njaba
padhang mbulan, padhange kaya rina
… … … … … …
padhang mbulan wengi kuwi
bocah-bocah padha ngumpul nang
pkarangan
srawung kanca sapantaran
ublek umyek nyang-nyangan dolanan
: dolanan betengan
: cublak-cublak suweng wae
: piye yen gobak sodor
pungkase rembug, Jamuran kang
kalogan
jamuran, ya gegethok,
jamur apa ya gegegthok,
… … … … …
gurit iki mung pangeling kandha
dolanan kuwi saderma ngleluri
kagiles mangsa
njamure dolanan jaman saiki
sarwa kiriman saka manca
jamuran, betengan, engklek,
ri-uri
apa kudu ngenteni
mbulan padhang nang pkarangan
mbulane wis kalah padhang
pkarangane wis ora jembar
jamur gajih mbejijih saara-ara
sira njaluk jamur apa … … …
21 Sept. 2012
SATEMENE
(Kedhok lan Busana)
Asu sak anake… kirik
Babi, celeng, sak anake… genjik
Bajing,
Kethek, Munyuk,
Wedhus!
Jek ra patia sara…
Jaran, Jangkrik, Kadal, Tekek, Bulus,
Apa isih ana sing rung sinebut?
… …
… … … …
satemene kowe, Su!
lan sakancamu
seneng apa sara,
yen asring sinebut dening
menungsa?
yen aku, Su!
kena karan wakile menungsa
kok ora lila yen kowe, Su… lan
sakancamu
tan kena sinebut, kanti blakasuta
satemene kowe, Su… lan sakancamu
sara apa malah rumangsa
mulya…
nanging akeh menungsa sing
kedhokan lan busana jawa
isih durung bisa narima.
banjur aku lan kowe, Su… uga
sakancamu
kudu nyebut apa?
waung, segawon…
apa ya ra padha makna?
yakuwi mau, kedhok lan busana.
Su! Kok meneng wae, to?
malah melet-melet lan
plolak-plolok, thok!
Bumi Sekaran,
20/2-2013.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)