Mencipta Ruang Kreatif di Kota
Oleh: Widyo Babahe Leksono
Kehidup dikota besar semacam Jakarta,
hidup terasa sesak. Pada jam-jam berangkat maupun pulang kerja, kendaraan bermotor
berjalan merayap, bagaikan barisan semut. Sesak, pengap, bising dan gerahnya
kondisi perkotaan, berpengaruh terhadap perkembangan psikologi masyarakatnya. Sementara,
masyarakat kreator (seniman) membutuhkan suasana yang kondusif. Tenang, hening,
jauh dari kebisingan dan kegerahan dalam proses penciptaan karya. Lantas
semacam apa sikap yang dilakukan? Bagaimana cara menghadirkan ruang untuk
merenung dan mengaktualisasikan karyanya?
Ruang yang dimaknai sebagai,
sela-sela antara dua, tiga, atau empat tiang, dinding (sekat, batas) atau
rongga yang berbatas (terlingkung), oleh bidang. Atau Ruang diartikan sebagai,
rongga yang tak berbatas, tempat segala yang ada. Renung, yaitu diam memikirkan
sesuatu atau mencari ilham (ide). Raung, dimaknai bunyi yang nyaring dan
panjang. Dalam dunia kesenian, raung bisa dimaknai aktualisasi karya.
Kreator, dalam proses berkarya,
berkait erat dengan 3 hal, ruang, renung, raung. Pada masanya ketika berkarya,
membutuhkan ruang yang tenang (kondusif) untuk merenung. Jauh dari gangguan
berupa suara maupun berujud rupa. Jika karya siap untuk dipresentasikan (aktualisasi),
kepada publik (masyarakat), masih dibutuhkan sebuah ruang lagi, untuk
mengaktualisasikan karyanya. Sebagai kreator yang hidup, diantara
hiruk-pikuknya kehidupan kota, tentu mengalami banyak kendala. Tak ayal jika
seniman mencipta ruang tersendiri.
Kantong Kesenian
Taman Ismail Marjuki (TIM) di
Jakarta, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Surakarta, Taman Budaya Raden Saleh
(TBRS) atau Pusat Kesenenian Jawa Tengah (PKJT) di Semarang, Purna Budaya
Jogjakarta, dan lainya, kurang mampu mewadahi, derasnya arus kreatifitas para
seniman. Semestinya, Pemerintah menambah ruang lagi bagi seniman, untuk
menampung karya-karyanya. Penyediaan ruang, tidak seimbang dengan adanya
penambahan, jumlah seniman dan karyanya.
Sementara yang muncul dikalangan seniman
adalah, kegelisahan untuk mengaktualisasikan karyanya. Dengan keterbatasan
ruang yang ada, ia menciptakan ruang kreatif sendiri. Terlahirlah
kantong-kantong atau Komunitas-komunitas kesenian. Teater Utan Kayu (TUK) dan
Warung Apresiasi (Wapres) yang ada di Jakarta misalnya. Di kota Semarang saja,
ada belasan kantong atau komunitas, yang mewadahi kegelisahan seniman kota
atlas tersebut. Misal,Teater Lingkar, Laboratorium Lengkong Cilik, Rumah Seni
Yaitu, Galery Bu Atie, Galery Semarang, Surau Kami, Komunitas Hysteria, Laci
Kata, dan lain-lainya.
Dari kantong maupun komunitas yang
diciptakan, para seniman bisa berkumpul, diskusi, dan berkarya. Karena
keterbatasan ruang, acara yang diagendakan oleh seniman yang hidup di kota,
tidak mampu menampung penikmat seni terlalu banyak. Berbeda dengan acara yang
digelar oleh komunitas seni yang berada di daerah. Masih terdapat celah-celah
yang bisa digarap. Bidang tanah yang terhampar luas, masih didapati didaerah.
Tak ayal jika seniman daerah lebih leluasa dan berani berspetakuler, jika
menggelar karyanya. Misal, Komunitas Gosek Tontonan dari Pati. Komunitas Kethek
Ogleng dari Rembang, dan Komunitas Kalinyamatan dari Jepara.
Lain halnya dengan komunitas,
kesenian tradisi (jathilan), yang tercecer di perempatan jalan. Nyaris tidak
ada perhatian dan pembinaan. Lalu apa pekerjaan pemerintah dibidang seni dan
budaya? Melalui Dewan Kesenian yang ia bangun, tak mampu mengatasi persoalan
tersebut. Itupun masih terhambat birokasi yang dilakukan oleh oknum
pemerintahan. Sebut saja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud).
Menjaga Ruang
Namun dari kantong, komunitas, atau
lembaga kesenian yang ada, hanya beberapa saja, yang mampu melakukan ketahanan.
Beberapa komunitas maupun kantong, bertumbangan justru karena gagap menjaga
ruang. Ketika ruang kreatif terbentuk, lalu-lalang kesenian bergerak. Bergulir
bagai bola es. Dalam kurun waktu tertentu, ruang menjadi senyap kembali. Energi
pengelola ruang, rata-rata tekuras habis, pada awal-awal kegiatan. Tidak bisa dipungkiri, jika pada masa
tertentu, Semarang mendapat label, Kuburan Kesenian.
Teater Lingkar, bisa dikategorikan komunitas
yang mampu menjaga ruang. Sebuah komunitas kesenian, masih mampu bertahan hidup
selama 37 tahun, perlu mendapatkan apresiasi tersendiri. Berawal dari kelompok
kesenian, yang hidup ditengah kampung, yang nyaris tidak ada ruang untuk
berproses. Dalam perjalanannya, ia ciptakan ruang-ruang untuk
mengaktualisasikan (mementaskan) karya-karyanya. Dan sampai sekarang, Mas Ton, sebagai penjaga
ruang tersebut, masih menyimpan energi.
bukan berarti bahwa, beberapa
kantong kesenian, yang sudah tidak aktif dan produktif, kreatornya (penjaganya)
pasif. Secara fisical, ruang dan karya masih berdenyut. Misal, Rumah seni
Yaitu, Galery Bu Atie, Laboratorium Lengkong Cilik. Namun gaungnya, tak
meraung-raung selayaknya awal-awal kantong seni itu berdiri. Dalam pepatah jawa berbunyi, “gogrok godhong
asem.” Apakah demikian halnya kehidupan kesenian di kota Atlas? Yang identik
dengan nama kotanya, Semarang, berasal dari kata, asem (pohon)dan arang
(jarang)?
Sebuah fenomena menarik, terjadi
pada para seniman gaek, yaitu, membangun pendopo, padepokan, atau semacam
sanggar di pelosok daerah. Diusia yang mendekati udzur, mereka sudah menyiapkan
diri utntuk tempat (ruang) yang tenang, jauh dari kebisingan suara
kendaraan bermotor. Misal, WS Rendra
(almarhum), Sitok Srengenge, Butet Kertarajasa, dan lain-lain. Bagaimanapun, mereka membutuhkan ruang renung
yang lebih kondusif, untuk menghasilkan karya yang lebih dahsyat tentunya. Atau
mereka memang menyiapkan diri untuk “pensiun.” Sehingga perlu ruang yang
benar-benar jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan kota, setelah bertahun-tahun
bergelut di perkotaan? Allahualam.
*) Widyo Babahe Leksono, Pegiat dan Penulis Naskah Teater di Semarang