Widyo Babahe Leksono

  • Gurit
  • Komunitas Perokok
  • Naskah Teater
  • Dongeng
Home Archive for 2023

Rekam Jejak

Tradisi, Ritual dan Festival

Barikan Kubro

Karimunjawa Jepara

Jawa Tengah

 

(oleh: Widyo Babahe Leksono)

 

+ Tradisi Barikan

Tradisi Barikan di desa Karimunjawa, adalah tradisi atau kebiasaan, yang dilakukan masyarakat desa

Karimunjawa, disetiap hari Jumat Wage. Orang jawa menyebutnya Selapan sekali. Kurun waktu

selapan adalah tiga puluh lima (35) hari. Hari Kamis sebelumnya (kamis pon), jika sudah sore atau

masuk waktu Asar, menurut perhitungan orang jawa, sudah masuk hari berikutnya (jumat wage).

Maka pelaksanaan Tradisi Barikan oleh masyarakat desa Karimunjawa, biasanya dilakukan hari Kamis

Pon diwaktu sore hari.

Seperti di daerah atau desa-desa lain, diseputar kepulauan Karimunjawa, bahkan Kabupaten Jepara.

Pelaksanaan Tradisi Barikan, seringnya dilakukan dipersimpangan jalan. Baik pertigaan maupun

perempatan. Demikian pula yang terjadi di desa Karimunjawa. Pelaksanaan Tradisi Barikan,

bertempat di Perempatan Puskesmas lama.

Tradisi peninggalan para leluhur (pendahulu), yang turunmenurun sampai sekarang, belum diketahui

secara pasti, kapan asal muasal diawalinya. Secara srampangan, diperkirakan sejak jamannya para

Wali.

Ubarampe atau pernakpernik dalam Barikan meliputi, Buceng. Yaitu, nasi yang dibentuk kerucut,

setinggi kuranglebih satu jengkal jari orang dewasa, dengan diameter 10 – 20 sentimeter. Yang

dilabur (dilapisi) pati kanji yang sudah seperti lem. Buceng ditata di atas piring (dahulu layah/lemper,

sejenis piring terbuat dari tanah liat). Diseputar Buceng, ditabur kacang hijau dan garam krosok.

Tradisi Barikan sebagai bentuk visual (simbul), Tolakbalak jauh dari marabahaya (sukerta).

 

+ Ritual Barikan

Masing-masing keluarga (biasanya dilakukan oleh Ibu-ibu), membawa Buceng dari rumah, menuju ke

Perempatan. Busana yang dipakai adalah pakaian keseharian (sederhana). Wajahnya berbedak

tradisional (bedak adem). Sesampainya di perempatan, Ibu-ibu berjajar. Duduk maupun jongkok,

diseputar dan sepanjang perempatan. Buceng diletakan didepannya. Sekiranya sudah dianggap

 

cukup yang berkumpul (situasional), Modin memulai dengan Doa-doanya. Usai Modin

membawakan Doa, masing-masing mengambil Buceng dari alasnya (piring), kemudian ditaruh

ditengah-tengah perempatan. Yang tersisa dipiring, tinggal Kacang Hijau dan Garam Krosok. Yang

kemudian dibawa pulang. Sesampainya di rumah, kacang hijau dan garam krosok, ditaburkan ke

sekeliling rumah.

 

+ Tradisi Barikan Kubro

Barikan Kubro desa Karimunjawa, yang dikonsep pada tahun 2014, mempunyai tujuan, mengusung

kembali Tradisi Barikan, yang dirasa perlu untuk menjaga kelestarian budaya. Dasar pertimbangan

lain adalah, dalam kurun waktu tertentu, jika tidak dilestarikan, akan lenyap ditelan jaman. Dengan

diusungnya kembali tradis tersebut, harapannya, nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh para

pendahulu, tetap terjaga. Proses untuk penyelenggaraan, membutuhkan waktu satu tahun. Sehingga

pelaksanaan Barikan Kubro, baru bisa terselenggara pada tahun 2015.

Tradisi Barikan Kubro desa Karimunjawa, pada awalnya dikonsep bukan semata untuk desa, namun

untuk Kepulauan Karimunjawa. Seiring waktu berjalan, tradisi yang diselenggaran satu tahun sekali,

yang jatuh pada hari Jumat Wage dibulan suro (muharam), hanya diselenggarakan di desa

Karimunjawa.

Ubarampe atau pernakpernik dalam Barikan Kubro, tidak jauh berbeda dengan tradisi Barikan

selapanan. Dengan dasar penambahan kata: Kubro, pelaksanaan kegiatan ada sedikit perbedaan.

Yaitu penambahan dan pengembangan berupa Tumpeng atau Gunungan. Maksud dan tujuannya,

selain guna menumbuhkembangkan semangat Gotongroyong, juga bisa sebagai alternatif

kepariwisataan.

 

+ Ritual Barikan Kubro

Ritual Barikan Kubro adalah, pengembangan dari Ritual Barikan Selapanan. Selain ada buceng yang

dibawa Ibu-ibu dari rumah, ada satu penambahan yaitu tumpeng atau Gunungan, yang diusung

bersama-sama dari masing-masing RT. (yang dalam pengembangannya, bukan hanya diikuti

perwakilan RT, namun beberapa komunitas, paguyuban, lembaga, instansi maupun pengelola

penginapan, homstay, hotel, juga pada ikut serta). Tumpeng atau Gunungan (yang paling besar) dari

Desa, diletakkan persis ditengah-tengah perempatan. Yang kemudian diikuti tumpeng/gunungan

lain, yang ditata rapi disepanjang jalan perempatan. Warga atau masyarakat termasuk Ibu-ibu

pembawa buceng, duduk/jongkok disepanjang pinggiran jalan.

 

Jika dalam Ritual Barikan Selapanan, setelah Modin menyelesaikan Doa, buceng ditaruh ditengah

perempatan. Dalam Riual Barikan Kubro, buceng boleh dibawa kerumah, atau ditaruh ditengah

perempatan, setelah Ritual Barikan Kubro selesai.

Didalam Ritual Barikan Kubro, usai Modin memanjatkan Doa, Gong ditabuh tiga kali. Sebagai tanda

dimulainya kirap. Tumpeng/gunungan diangkat oleh masing-masing warganya. Tumpeng/gunungan

dari Desa, diusung ke Dermaga Rakyat. Sedang tumpeng yang lain, diusung menuju Alun-alun. Modin

menebar Kacang Hijau dan Garam Krosok, disepanjang perjalanan. Yang sudah dipersiapkan

sebelumnya. Dalam Barikan Kubro belum ada Pakem (ketentuan) yang baku, ubarampe tersebut

diwadahi apa.

Ditengah perjalanan mengusung tumpeng/gunungan menuju Dermaga, rombongan pembawa

tumpeng/gunungan, dihadang sekelompok Pembajak (bajakan). Kalau tradisi pegunungan disebut

Begalan. Sesampainya di Dermaga, Kepala Desa (petinggi) memotong pucuk tumpeng, yang

kemudian ditaruh diatas selembar kain putih. Yang masing-masing ujungnya (empat sudut)

dipegangi para tokoh masyarakat. Dengan kebersamaan, pucuk tumpeng ditabur ke laut.

Tumpeng/gunungan diusung kembali, menuju alun-alun. Ketika masuk pintu gerbang alun-alun,

disambut oleh Ibu-ibu dan anak-anak, dalam bentuk tari Minagara. Puncak ritual,

tumpeng/gunungan menjadi rebutan sebagian warga, dan para wisatawa, setelah usai tari Minagara.

Yang diikutsertai para warga dan simpatisan, yang membawa tumpeng/gunungan masing-masing.

Agenda makan bersama di alun-alun, sebagai penutup Ritual Barikan Kubro.

 

+ Festival Barikan Kubro

Adalah serangkaian kegiatan, yang diselenggarakan oleh masyarakat desa Karimunjawa, dibulan

Suro (muharam). Adapun rangkaian kegiatannya meliputi:

a. workshop (pelatihan) yang diselenggarakan beberapa hari, sebelum Ritual Barikan Kubro.

Materi workshop kondisional dan situasional.

b. Slametan sehari sebelumnya.

c. Ritual Barikan Kubro.

d. Panggung Seni.

e. Pameran hasil workshop/pelaihan.

Kelima hal tersebut diatas, sebagai acuan dasar. Dalam proses perjalanannya, ada penambahan

beberapa hal. Diantaranya, bazar UMKM makanan tradisional dan Lomba tumpeng.

 

*) catatan:

 

Nilai-nilai ajaran atau Filosofi, yang terkandung dimasing-masing kegiatan,

Oleh: Widyo Babahe Leksono

Di tulisan saya yang pertama tentang Artsotika Muria(Desember 2018), ada tiga hal penting yang perlu dicatat yaitu,

1.    Menjaga dan merawat.

2.    Mengembalikan.

3.    Menumbuhkembangkan.

Ketiganya menyangkut potensi yang ada di Muria, yang berkait erat dengan, Hayati, Tanah, Air, Batu dan Budaya. Satu hal lagi, yang paling penting, selain ketiga hal tersebut, yaitu tentang Gotong royong.

Mengawali langkah, di Dekade Pertama, muncul beberapa kendala,

-       Kecurigaan para pegiat tentang sebuah Proyek Besar. Entah itu dari Pemerintah atau Founding.

-       Sosialisasi konsep/kegiatan dengan masyarakat (desa), yang akan ditempati (untuk acara/kegiatan).

-       Pendanaan.

Waktu berjalan, Artsotika Muria menjadi tekat bulat para pegiatnya, yang dengan Gotongroyong, menjaga, merawat, mengembalikan dan menumbuhkembangkan Alam Muria. Gotongroyong memang kunci utama. Sehingga modal utama ini, Artsotika Muria menghandalkan, memaksimalkan kekayaan dan kekuatan alam/lingkungan. Dengan kegotongroyongan ini, bahu membahu bisa meringankan beban kebutuhan.

                                   

Artsotika Muria bukan Paguyuban, Organisasi, Lembaga, Yayasan atau yang sejenisya. Artsotika Muria adalah Spirit, untuk merealisasi ketiga hal tersebut diatas. Pun dengan demikian, tidak ada ikatan apapun dengan perseorangan maupun kelompok yang ikut terlibat kegiatan. Daya ikat dan pikat Artsotika Muria, spirit tersebut. Hal yang paling dihindari adalah, bubar atau hancurnya suatu kelompok karena persoalan Uang.

Di Dekade Pertama, beberapa pelaku yang pernah ikut terlibat yaitu, Pegiat Seni dan Budaya, Pegiat Lingkungan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, Pemerintah Desa, Petani, Tukang, Pegiat Sejarah, Mahasiswa, Pelajar, Ibu Rumah Tangga, PKK desa, Guru, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kecamatan, Komunitas Penulis/Literasi, Dewan Kesenian, Wartawan/Media, Pegiat Film, Dukun/Spiritual, Komunitas Kopi, . . .  (maaf jika ada yang pernah terlibat belum tertulis).

Masih banyak persoalan yang belum tersentuh dalam laku menjaga dan merawat Muria. Penebangan pohon, penggalian sungai, pengeprasan bukit, pengeboran tanah. Menanam dan menumbuhkan kesadaran masyakarat, betapa pentingnya manfaat lingkungan Muria, untuk masa-masa mendatang. Dimusim penghujan, berkali terjadi banjir, tanah longsor dan pohon tumbang. Kekeringan atau kekurangan air dimusim kemarau.

Alih fungsi lahan (hutan) dan pengembangan kepariwisataan, adalah ancaman besar bagi kelestarian Muria. Secara ekstrim gerakan Artsotika Muria Menolak kedua hal tersebut. Kebijakan harus ditumbuhkan. Karena kedua hal tersebut bagian dari program pemerintah, juga sebagai penopang hidup masyarakat setempat. Pelaku Artsotika Muria, tergerak mencari solusi terbaik.

Menanam itu mudah dibanding merawat. Termasuk menanam Manusia. Diakir Dekade Pertama, muncullah gagasan “Gerakan Tilik Tanduran.” Selain secara riil menanam pohon, kegiatan yang telah dilakukan adalah, resik-resik kali, belik/sendang atau mata air, dan sosial masyarakat. Beberapa bulan setelah kegiatan Artsotika Muria, team kecil melakukan silaturahmi ke desa yang pernah disinggahi. Walau hanya terbatas beberapa personil.

Hayati, baik tumbuhan maupun binatang, ada beberapa jenis berangsur punah. Harimau Muria ekosistemnya mulai terancam. Beberapa kali didapati, Harimau turun ke desa. Edukasi kepada warga sangat dibutuhkan. Tidak membunuhnya tetapi menghalau atau sekalian memberi makan. Gerakan Artsotika Muria menawarkan, adanya Lembaga atau Komunitas peduli Harimau Muria. Aksi sosial kepada warga/masyarakat berupa, mengganti ternak warga yang menjadi korban (dimangsa).

Himbauan bahkan peringatan pelanggaran hukum, dengan ancaman denda atau penjara, tentang perburuan liar, masih terabaikan. Tidak membuat efek jera. Penebangan pohon memang sudah berkurang, tetapi mematikan pohon, dengan cara dikerat masih marak. (jika pohon mati, lahan dimanfaatkan untuk perkebunan). Sekiranya perlu melibatkan penegak hukum, untuk menindak secara tegas (sungguh-sungguh).

Situs, Artefak dan Terakota peninggalan pada masa lalu, tersebar luas dilereng-lereng bukit Muria. Pendataan memang sudah dilakukan oleh Balai Arkeologi (balar) bersama warga setempat. Namun belum maksimal, karena ada beberapa yang susah dijangkau karena medan. Merawat dan Menjaga perlu sekiranya untuk ditingkatkan. Sebab terindikasi banyaknya benda-benda tersebut yang hilang. Lalu siapa yang berkuwajiban untuk itu?

 


Jepara, 24 Mei 2023.

 

+) Catatan:

Dekade adalah satu putaran penyelenggaraan Artsotika Muria. Sementara waktu, penyelenggaraan diadakan satu tahun sekali, disetiap Wilayah (kabupaten). Dengan demiikian, dalan satu putaran (dekade) ada tiga penyelenggaraan dalam waktu tiga tahun.





Langganan: Postingan ( Atom )

Mengenai Saya

artsotika
Lihat profil lengkapku

Categories

  • Artsotika Muria
  • geguritan
  • KOJAK (Kelompok Perokok Bijak) SARUK (Sayuk Rukun)
  • Naskah Teater
  • Novel Anak

Blog Archive

  • ▼  2023 (2)
    • ▼  Desember (1)
      • Barikan Karimunjawa
    • ►  Mei (1)
      • Artsotika Muria di Dekade Pertama
  • ►  2019 (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2017 (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (4)
    • ►  Januari (4)

LATEST POSTS

  • Barikan Karimunjawa
    Rekam Jejak Tradisi, Ritual dan Festival Barikan Kubro Karimunjawa Jepara Jawa Tengah   (oleh: Widyo Babahe Leksono)   + T...
  • kumpulan geguritan
    Mangsa Ganjil Siji, telu, lima, pitu, … … … sangangpuluh sanga, tung entungane angka, ning ora angger ngetung tumtrabe wong jawa. ...
  • Artsotika Muria di Dekade Pertama
    Oleh: Widyo Babahe Leksono Di tulisan saya yang pertama tentang Artsotika Muria(Desember 2018) , ada tiga hal penting yang perlu dicatat y...
  • TEATER SEMARANG dari/ke MASA
    30 Tahun Teater Semarang (Data: Babahe & Alvi) Tulisan ini sekadar yang kami ingat, selama mengetahui perjalanan Teater di Sem...
  • nyanyian pelangi
    NYANYIAN PELANGI Oleh: Catur Widya Pragolapati ADEGAN SATU Panggung gelap. Alunan Musik (vokal), “Ibu Pertiwi” diulang beberapa k...
  • Menuju Artsotikamuria
    Save Muria dalam Budaya  Rabu, 6 Maret 2019. Di seputar wilayah Universitas Muria Kudus, sejak sore hari diguyur hujan. Hingga malam...
  • Menuju Hatedu Semarang 2019
    Migrasi Kampus ke Kampung Minggu malam (20/1), diselimuti dingin. Beruntung, tak hujan malam itu. Tak seperti malam-malam sebelumnya. ...
  • DOLANAN YO!
    Dolanan Anak Widyo Babahe Leksono Dolanan Anak Dolanan Anak - 3 . Pengantar 5 Pendahuluan 7 A. Dolanan Tanpa Tembang 15 1. Gobak...
  • KOJAK SARUK JATENG
    Sumber : http://kojaksarukjateng.blogspot.co.id/
  • HARI AIR DUNIA
    Air, dari Hulu ke Hilir Oleh: Widyo Babahe Leksosno Anonim Air dalam bahasa jawa= Banyu, Toya, Warih, Guwaya. Masing-masing mempunyai ...
Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright 2014 Widyo Babahe Leksono.
Designed by OddThemes