Widyo Babahe Leksono

  • Gurit
  • Komunitas Perokok
  • Naskah Teater
  • Dongeng
Home Archive for Maret 2017
Mencipta Ruang Kreatif di Kota
Oleh: Widyo Babahe Leksono

Kehidup dikota besar semacam Jakarta, hidup terasa sesak. Pada jam-jam berangkat maupun pulang kerja, kendaraan bermotor berjalan merayap, bagaikan barisan semut. Sesak, pengap, bising dan gerahnya kondisi perkotaan, berpengaruh terhadap perkembangan psikologi masyarakatnya. Sementara, masyarakat kreator (seniman) membutuhkan suasana yang kondusif. Tenang, hening, jauh dari kebisingan dan kegerahan dalam proses penciptaan karya. Lantas semacam apa sikap yang dilakukan?  Bagaimana cara menghadirkan ruang untuk merenung dan mengaktualisasikan karyanya?
Ruang yang dimaknai sebagai, sela-sela antara dua, tiga, atau empat tiang, dinding (sekat, batas) atau rongga yang berbatas (terlingkung), oleh bidang. Atau Ruang diartikan sebagai, rongga yang tak berbatas, tempat segala yang ada. Renung, yaitu diam memikirkan sesuatu atau mencari ilham (ide). Raung, dimaknai bunyi yang nyaring dan panjang. Dalam dunia kesenian, raung bisa dimaknai aktualisasi karya.
Kreator, dalam proses berkarya, berkait erat dengan 3 hal, ruang, renung, raung. Pada masanya ketika berkarya, membutuhkan ruang yang tenang (kondusif) untuk merenung. Jauh dari gangguan berupa suara maupun berujud rupa. Jika karya siap untuk dipresentasikan (aktualisasi), kepada publik (masyarakat), masih dibutuhkan sebuah ruang lagi, untuk mengaktualisasikan karyanya. Sebagai kreator yang hidup, diantara hiruk-pikuknya kehidupan kota, tentu mengalami banyak kendala. Tak ayal jika seniman mencipta ruang tersendiri.
Kantong Kesenian
Taman Ismail Marjuki (TIM) di Jakarta, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Surakarta, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) atau Pusat Kesenenian Jawa Tengah (PKJT) di Semarang, Purna Budaya Jogjakarta, dan lainya, kurang mampu mewadahi, derasnya arus kreatifitas para seniman. Semestinya, Pemerintah menambah ruang lagi bagi seniman, untuk menampung karya-karyanya. Penyediaan ruang, tidak seimbang dengan adanya penambahan, jumlah seniman dan karyanya.
Sementara yang muncul dikalangan seniman adalah, kegelisahan untuk mengaktualisasikan karyanya. Dengan keterbatasan ruang yang ada, ia menciptakan ruang kreatif sendiri. Terlahirlah kantong-kantong atau Komunitas-komunitas kesenian. Teater Utan Kayu (TUK) dan Warung Apresiasi (Wapres) yang ada di Jakarta misalnya. Di kota Semarang saja, ada belasan kantong atau komunitas, yang mewadahi kegelisahan seniman kota atlas tersebut. Misal,Teater Lingkar, Laboratorium Lengkong Cilik, Rumah Seni Yaitu, Galery Bu Atie, Galery Semarang, Surau Kami, Komunitas Hysteria, Laci Kata, dan lain-lainya.
Dari kantong maupun komunitas yang diciptakan, para seniman bisa berkumpul, diskusi, dan berkarya. Karena keterbatasan ruang, acara yang diagendakan oleh seniman yang hidup di kota, tidak mampu menampung penikmat seni terlalu banyak. Berbeda dengan acara yang digelar oleh komunitas seni yang berada di daerah. Masih terdapat celah-celah yang bisa digarap. Bidang tanah yang terhampar luas, masih didapati didaerah. Tak ayal jika seniman daerah lebih leluasa dan berani berspetakuler, jika menggelar karyanya. Misal, Komunitas Gosek Tontonan dari Pati. Komunitas Kethek Ogleng dari Rembang, dan Komunitas Kalinyamatan dari Jepara.
Lain halnya dengan komunitas, kesenian tradisi (jathilan), yang tercecer di perempatan jalan. Nyaris tidak ada perhatian dan pembinaan. Lalu apa pekerjaan pemerintah dibidang seni dan budaya? Melalui Dewan Kesenian yang ia bangun, tak mampu mengatasi persoalan tersebut. Itupun masih terhambat birokasi yang dilakukan oleh oknum pemerintahan. Sebut saja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud).
Menjaga Ruang
Namun dari kantong, komunitas, atau lembaga kesenian yang ada, hanya beberapa saja, yang mampu melakukan ketahanan. Beberapa komunitas maupun kantong, bertumbangan justru karena gagap menjaga ruang. Ketika ruang kreatif terbentuk, lalu-lalang kesenian bergerak. Bergulir bagai bola es. Dalam kurun waktu tertentu, ruang menjadi senyap kembali. Energi pengelola ruang, rata-rata tekuras habis, pada awal-awal kegiatan.  Tidak bisa dipungkiri, jika pada masa tertentu, Semarang mendapat label, Kuburan Kesenian.
 Teater Lingkar, bisa dikategorikan komunitas yang mampu menjaga ruang. Sebuah komunitas kesenian, masih mampu bertahan hidup selama 37 tahun, perlu mendapatkan apresiasi tersendiri. Berawal dari kelompok kesenian, yang hidup ditengah kampung, yang nyaris tidak ada ruang untuk berproses. Dalam perjalanannya, ia ciptakan ruang-ruang untuk mengaktualisasikan (mementaskan) karya-karyanya.  Dan sampai sekarang, Mas Ton, sebagai penjaga ruang tersebut, masih menyimpan energi.
bukan berarti bahwa, beberapa kantong kesenian, yang sudah tidak aktif dan produktif, kreatornya (penjaganya) pasif. Secara fisical, ruang dan karya masih berdenyut. Misal, Rumah seni Yaitu, Galery Bu Atie, Laboratorium Lengkong Cilik. Namun gaungnya, tak meraung-raung selayaknya awal-awal kantong seni itu berdiri.  Dalam pepatah jawa berbunyi, “gogrok godhong asem.” Apakah demikian halnya kehidupan kesenian di kota Atlas? Yang identik dengan nama kotanya, Semarang, berasal dari kata, asem (pohon)dan arang (jarang)?
Sebuah fenomena menarik, terjadi pada para seniman gaek, yaitu, membangun pendopo, padepokan, atau semacam sanggar di pelosok daerah. Diusia yang mendekati udzur, mereka sudah menyiapkan diri utntuk tempat (ruang) yang tenang, jauh dari kebisingan suara kendaraan  bermotor. Misal, WS Rendra (almarhum), Sitok Srengenge, Butet Kertarajasa, dan lain-lain.  Bagaimanapun, mereka membutuhkan ruang renung yang lebih kondusif, untuk menghasilkan karya yang lebih dahsyat tentunya. Atau mereka memang menyiapkan diri untuk “pensiun.” Sehingga perlu ruang yang benar-benar jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan kota, setelah bertahun-tahun bergelut di perkotaan? Allahualam.

*) Widyo Babahe Leksono, Pegiat dan Penulis Naskah Teater di Semarang

Air, dari Hulu ke Hilir
Oleh: Widyo Babahe Leksosno

Anonim Air dalam bahasa jawa= Banyu, Toya, Warih, Guwaya. Masing-masing mempunyai makna kedalaman yang berbeda. Kata tersebut tampak jelas kedalaman maknanya, ketika digunakan dalam peribahasa jawa. Misal, “golek warih apikulan warih.” Air, mempunyai sifat dan rasa yang berbeda. Perbedaan sifat dan rasa, berpengaruh pada cara menyikapinya. Penyikapan terhadap air dimasing-masing tempat (daerah), memunculkan perbedaan kultur atau budaya. Nyadran Kali atau Sendhang, adalah budaya warga pegunungan. Sedekah laut (lomban), dimiliki masyarakat pesisiran.
Air, menjadi isu besar, tatkala kemarau dan penghujan berkepanjangan. Kekeringan dan banjir. Dan sungguh ironi, hal tersebut dikategorikan bencana alam. Bukankah peristiwa itu, atas ulah manusianya sendiri? Suatu pengulangan peristiwa, berjalanan hingga puluhan tahun. Padahal, grafik menunjukkan adanya peningkatan disetiap tahunnya. Kiat dan penanganan secara serius, belum tampak. Juga antisipasi sebelum peristiwa terjadi. Penanaman pohon secara besar-besaran, sekedar lamis.
Persoalan air adalah, persoalan global. Jika bukan karena pentingnya air, United Nations Environment Programme (UNEP), merasa tidak perlu memperingatinya. Sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bergerak dibidang Lingkungan Hidup, menentukan 22 Maret sebagai Hari Air Internasional. UNEP mengajak masyarakat dunia, setidaknya satu hari dalam satu tahun, tumbuh kesadaran untuk mengingat air. Sayang, di Indonesia kususnya Jawa, budaya nyadran sendang, mulai ditinggalkan.

Save TBRS
Air, sudah tidak diperhatikan. Dari mana asalnya, dan hendak kemana tujuannya. Tak tampak ketika musim kemarau. Tiba-tiba datang (banjir) dimusim hujan. Padahal disetiap harinya, manusia selalu mengkonsumsi air. Kesadaran pentingnya ngrumat air muncul, ketika datang banjir atau kekeringan . Upaya mengantisipasi sebelum datang peristiwa, dibeberapa lingkungan masyarakat, sebenarnya masih terpelihara. Justru langkah Pemerintah lah, yang menjadikan salah kaprah.
Gerakan yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat, menyangkut lingkungan selalu kandas. Kawasan pegunungan Kendeng, di wilayah Kabupaten Pati, Blora, Rembang. Urut Sewu di Kabuten Kebumen, semenanjung Muria di Jepara, dan lain sebagainya. Upaya masyarakat untuk menjaga lingkungan, selalu terhalang oleh pengkianat, pemain (bukan penegak) hukum. Masyarakat dihadapkan oleh saudaranya sendiri (baca: politik adu domba, masa penjajahan Belanda).
Diawal tahun 2016, beberapa wilayah, termasuk Jakarta terjadi banjir. Kota Semarang aman-aman saja, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun tiba-tiba masyarakat dikejutkan, atas pemberitaan Memorandum of Understanding (MoU), antara Walkot dengan PT Trans Retail Property . tentang pembangunan Trans Studio di kawasan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang.  Walau saya ngedhem-ngedhemi, itu hanya trik politik. Namun sampai saat ini, masyarakat masih was-was, kawatir. Belum ada pernyataan secara jelas dan terbuka dari Walikota.
Tahun 1995, ketika saya masih mengajar di SMA Muhammadiyah 1. Beberapa kali siswa saya ajak ke TBRS. Termasuk didalamnya kegiatan OSIS dan Pramuka. Ketika itu, ada kolam yang cukup lumayan luasnya. didalamnya terdapat kehidupan berupa ganggang maupun plangton. Yang bisa disikapi sebagai laboratorium (secara gratis) bagi para peserta didik. Namun kolam tersebut sudah tidak bisa dimanfaatkan, sejak dibangunnya Wonderia. Beberapa mata air ditutup, dimatikan.
Jauh tahun sebelumnya. Ketika wialayah itu sebagai Tempat Hiburan Masyarakat (THR). Di dalamnya terdapat sendang, dengan ukuran kurang lebih 100 Meter Persegi. Karena untuk kepentingan tertentu, sendang tersebut ditutup. Namun alam masih berpihak pada warga sekitar. Sumber mata air masih bertahan hidup. Dengan munculnya, mata air-mata air kecil, dilingkungan TBRS. Yang sampai sekarang, masih dimanfaatkan oleh warga.
Golek warih apikulan warih, kurang tepat dengan serta merta diartikan; Mencari air, menggunakan (pikul=alat) air. Sungguh cerdas nenek moyang kita. Karena berbudaya, termasuk arif pada lingkungannya.

Langganan: Postingan ( Atom )

Mengenai Saya

artsotika
Lihat profil lengkapku

Categories

  • Artsotika Muria
  • geguritan
  • KOJAK (Kelompok Perokok Bijak) SARUK (Sayuk Rukun)
  • Naskah Teater
  • Novel Anak

Blog Archive

  • ►  2023 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ▼  2017 (3)
    • ▼  Maret (2)
      • Hari Teater seDunia 2017
      • HARI AIR DUNIA
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (4)
    • ►  Januari (4)

LATEST POSTS

  • Barikan Karimunjawa
    Rekam Jejak Tradisi, Ritual dan Festival Barikan Kubro Karimunjawa Jepara Jawa Tengah   (oleh: Widyo Babahe Leksono)   + T...
  • kumpulan geguritan
    Mangsa Ganjil Siji, telu, lima, pitu, … … … sangangpuluh sanga, tung entungane angka, ning ora angger ngetung tumtrabe wong jawa. ...
  • Artsotika Muria di Dekade Pertama
    Oleh: Widyo Babahe Leksono Di tulisan saya yang pertama tentang Artsotika Muria(Desember 2018) , ada tiga hal penting yang perlu dicatat y...
  • TEATER SEMARANG dari/ke MASA
    30 Tahun Teater Semarang (Data: Babahe & Alvi) Tulisan ini sekadar yang kami ingat, selama mengetahui perjalanan Teater di Sem...
  • nyanyian pelangi
    NYANYIAN PELANGI Oleh: Catur Widya Pragolapati ADEGAN SATU Panggung gelap. Alunan Musik (vokal), “Ibu Pertiwi” diulang beberapa k...
  • Menuju Artsotikamuria
    Save Muria dalam Budaya  Rabu, 6 Maret 2019. Di seputar wilayah Universitas Muria Kudus, sejak sore hari diguyur hujan. Hingga malam...
  • Menuju Hatedu Semarang 2019
    Migrasi Kampus ke Kampung Minggu malam (20/1), diselimuti dingin. Beruntung, tak hujan malam itu. Tak seperti malam-malam sebelumnya. ...
  • DOLANAN YO!
    Dolanan Anak Widyo Babahe Leksono Dolanan Anak Dolanan Anak - 3 . Pengantar 5 Pendahuluan 7 A. Dolanan Tanpa Tembang 15 1. Gobak...
  • KOJAK SARUK JATENG
    Sumber : http://kojaksarukjateng.blogspot.co.id/
  • HARI AIR DUNIA
    Air, dari Hulu ke Hilir Oleh: Widyo Babahe Leksosno Anonim Air dalam bahasa jawa= Banyu, Toya, Warih, Guwaya. Masing-masing mempunyai ...
Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright 2014 Widyo Babahe Leksono.
Designed by OddThemes